Long Shot: Tradisi Lama Yang Mulai Usang

Long Shot: Tradisi Lama Yang Mulai Usang

2 Desember 2025

BRI SUPER LEAGUE 2025-26

Oleh: Tim Football Academy I.League


MENONTON sepak bola Indonesia kadang terasa seperti kembali ke masa lalu. Ada semangat juang yang tinggi, tekel keras di tengah lapangan, pemain yang tak berhenti berlari mengejar bola, dan tembakan jarak jauh! Hal-hal yang mulai jarang kita lihat di Eropa modern, masih jadi “bumbu wajib” di Liga Indonesia.

Gol-gol spektakuler dari luar kotak penalti memang bisa jadi momen magis yang bikin stadion bergemuruh. Namun, di sisi lain, banyak dari tembakan jarak jauh itu justru berakhir sia-sia — bola melenceng, atau mudah diamankan kiper. Dalam sepak bola modern yang makin menekankan efisiensi, bagaimana tim menciptakan peluang jauh lebih penting daripada sekadar berapa banyak mereka menembak.

Eropa Sudah Lebih Efisien
Di Eropa, tren menembak dari jarak jauh terus menurun. Sejak munculnya metrik expected goals (xG), banyak pelatih mulai sadar tentang satu hal ini: semakin dekat posisi tembakan dengan gawang, semakin besar peluangnya jadi gol. Memang, logika sederhana, tapi sering terlupakan.

Di Premier League misalnya, dalam 18 musim terakhir, rata-rata jarak tembakan turun 15,8% — dari 17,7 meter di 2006/07 menjadi 14,9 meter di 2023/24. Menariknya, pada rentang waktu yang sama, rata-rata gol per pertandingan pun juga ikut naik dari 2,45 menjadi 3,28. Semakin dekat ke gawang, semakin besar peluang mencetak gol — dan hasilnya terlihat nyata.

Bahkan, klub sekelas Liverpool pun pernah belajar soal ini. Ian Graham, mantan kepala riset Liverpool, pernah bercerita bagaimana timnya yang diisi Salah–Firmino–Mané sempat punya “masalah kecil”: Philippe Coutinho terlalu sering menembak dari jarak jauh. 

“Pada musim 2017/18, saat itu kami punya trio penyerang Liverpool yang klasik: Salah, Firmino, dan Mané. Di lini tengah ada Coutinho yang menjadi otak permainan. Saya sangat menyukai gaya mainnya karena ia adalah sumber kreativitas tim. Meski begitu, ia cukup sering melepaskan tembakan jarak jauh, yang sejujurnya saya kurang suka dari dirinya, tapi, ya, itu masih bisa dimaklumi. Musim tersebut, kami menilai bahwa serangan kami termasuk lima terbaik di dunia.”

Ketika Graham memuji betapa mematikannya lini serang Liverpool pada tahun itu, ia tetap menyinggung soal kebiasaan Coutinho melepaskan tembakan jarak jauh yang kurang ia sukai. Eks pemain Inter Milan itu memiliki rata-rata jarak tembak 21,9 meter pada musim tersebut, menjadikannya salah satu pemain yang paling gemar mencoba tembakan dari jauh di seluruh kompetisi Eropa pada tahun 2017/18.

Meski punya kreativitas luar biasa, gaya bermain seperti itu dianggap tidak efisien — dan Liverpool perlahan mengubah cara mereka menciptakan peluang agar lebih dekat ke gawang. Coutinho dijual ke Barcelona, dan Liverpool menjadi juara Liga Champions pada musim setelahnya.

Indonesia Masih Gemar “Coba Peruntungan”
Nah, kalau kita bandingkan dengan Liga Indonesia saat ini, hasilnya menarik. Data menunjukkan bahwa rata-rata jarak tembakan di BRI Liga 1 musim ini setara dengan Premier League 18 tahun lalu. Artinya, dalam hal gaya bermain dan cara mencetak peluang, sepak bola kita mungkin bisa dibilang masih “tertinggal” hampir dua dekade.

Para pemain di liga kita tampaknya masih lebih senang “mencoba peruntungan” dengan tembakan jarak jauh, dibanding “membuat peruntungan” lewat pergerakan yang lebih sabar dan terencana untuk menciptakan peluang emas di kotak penalti. Secara statistik, dari total 616 percobaan tembakan jarak jauh (lebih dari 25 meter) yang dilakukan selama lima pekan pertama Pegadaian Championship 2025/26, hanya 9 yang berbuah gol. Artinya, tingkat konversinya sangat rendah, yakni hanya sekitar 1,46%, dengan sebagian besar tembakan, sebanyak 32,16% dari seluruh tembakan long shot, tidak tepat sasaran. Jenis tembakan ini tergolong tidak efisien karena peluangnya untuk berujung gol sangat kecil.

Dari beberapa kejadian di atas lapangan menjadi faktor mengapa kebiasaan shooting jarak jauh ini masih melekat di pemain-pemain di Liga Indonesia. Salah satunya adalah masalah mindset dalam menyerang, dimana sirkulasi bola—ke samping maupun ke belakang—kerap kali diabaikan. Dengan begitu, blok bertahan lawan tidak dapat “direnggangkan” dan alhasil, pemain menjadi terpaksa mengambil pilihan untuk melepaskan tembakan spekulasi.

Selain itu, ada juga faktor yang disebabkan justru oleh tim lawannya: ruang antarlini yang terlalu lebar. Ketika pemain menyerang menemukan dirinya dengan banyak ruang dan waktu di area tersebut, hal tersebut seakan-akan “mengundang” mereka untuk mencoba peruntungannya, sehingga akhirnya mereka melepaskan long shot. Dengan demikian, tugas selanjutnya bagi tim-tim di Indonesia adalah bagaimana kita bisa membangun mindset dan skema permainan yang dapat meningkatkan kualitas pemilihan tembakan?

Belajar dari Dua Wajah Pegadaian Championship
Melihat Pegadaian Championship musim ini, dua tim paling dominan, PS Barito Putera dan PSS Sleman, jadi contoh menarik. Keduanya mungkin tidak selalu menembak paling banyak, tapi mereka konsisten menciptakan peluang berkualitas tinggi. PSS Sleman unggul lewat serangan tajam dan agresif, sementara Barito Putera lebih efisien — pertahanan solid, dan saat menembak, mereka melakukannya dari jarak dekat yang lebih berpeluang jadi gol. Meskipun begitu, dapat diakui jika tim yang berjuluk Laskar Antasari tersebut bisa lebih efisien lagi. Namun, jika mereka bisa mempertahankan konsistensi menembak jarak dekat seperti ini, gol-gol akan datang dengan sendirinya.

Sebaliknya, Sriwijaya FC dan PSMS Medan berada di sisi lain. Keduanya cenderung menembak dari jauh karena kesulitan membangun peluang matang. Kadang satu-dua tembakan spektakuler berbuah gol, tapi lebih sering malah membuang kesempatan dan membuat mereka kehilangan bola — memberi peluang balik ke lawan.

Apa yang Bisa Sepak bola Indonesia Pelajari
Sepak bola Indonesia tidak harus kehilangan keindahannya. Tapi jika ingin lebih kompetitif dan menghasilkan “winning football”, klub-klub kita perlu memperbaharui cara berpikir. Bukan berarti dilarang menembak dari jauh, tapi menembak dengan cerdas: dari posisi yang lebih dekat dan punya peluang gol lebih besar.

Karena pada akhirnya, bukan soal siapa yang paling sering menembak, tapi siapa yang lebih tahu kapan dan dari mana harus menembak.