Oleh: Hanif Marjuni
Media and Public Relation PT LIB
Hari ini, 11 Agustus 2020. Tak terasa usia Arema sudah 33 tahun. Dianalogikan dalam siklus hidup manusia, usia tersebut terbilang matang. Sudah merasakan banyak pahit getirnya urip. Plus dengan segala pernak perniknya.
Tak percaya? Simak catatan statistik Ongis Nade, julukan Arema FC.
Semenjak tampil di Galatama, klub ini pernah terlempar ke kasta kedua. Tepatnya di Divisi Satu 2003. Tapi untung, langsung juara pada Divisi Satu 2004.
Dalam perjalanannya di kasta tertinggi, Ongis Nade pernah menelan beberapa kekalahan yang menyakitkan. Kalah dengan kebobolan lebih dari lima gol!
Di antaranya kalah saat melakoni laga tandang ke Persebaya Surabaya pada 26 Maret 1997. Ketika itu, Ongis Nade keok 1-6. Kemudian dibantai Persipura 0-6 pada 26 Januari 2003. Terakhir, kalah 1-6 versus Persipura pada 7 Maret 2011.
Kisah kelam itu, menjadi bagian yang tak terlupakan. Sulit dinalar. Dianggap hasil yang memilukan. Tak pantas untuk tim semilitan Arema.
Tapi itulah sepak bola. Kadang, hasilnya di luar perkiraan.
Meski begitu, mereka juga punya prestasi yang lumayan. Selama 33 tahun, sudah banyak trofi yang menghiasi lemari mereka.
Di antaranya juara di kompetisi Galatama 1992-93. Lalu, juara di Indonesia Super League 2009-10. Juara Divisi Satu Liga Indonesia 2004. Juara Piala Indonesia 2005 dan 2006. Itu belum termasuk juara di ajang pra musim. Seperti menjadi yang terbaik di Piala Presiden 2017 dan 2019.
Beberapa pelatih kenamaan juga pernah menangani klub ini. Mulai sekelas Gusnul Yakin, M. Basri, Benny Dollo, Miroslav Janu, Henk Wullems, Rahmad Darmawan, Robert Rene Alberts, hingga Milomir Seslija.
Beberapa pemain papan atas yang pernah berlaga di negeri ini juga sempat berkostum Arema. Di antaranya Singgih Pitono, Aji Santoso, Ahmad Bustomi, Zulkfli Syukur, I Putu Gede, Erol Iba, Firman Utina, Hendro Kartiko, Ponaryo Astaman, Ortizan Solossa, Cristian Gonzales, Esteban Vizcarra, hingga Nooh Alam Shah.
Catatan mentereng Ongis Nade tersebut, tidak diperoleh dengan mudah. Bukan hajatan bim salabim, abrakadabra!
Butuh perjuangan yang luar biasa. Bukan cuma pengorbanan uang, tenaga, kesabaran, kejelian, tapi juga modal tekad!
Ya, tekad kuat. Itulah modal berharga yang kelak menjadi salah satu karakter dan identitas Arema.
Kurang lebih setahun yang lalu, saya ngobrol lama dengan salah satu pendiri Arema, Ovan Tobing. Ia sosok penyiar radio yang nyentrik, enerjik, dan cerdas. Dulu, ia salah satu Master Ceremony (MC) kenamaan di acara musik rock. Panggung off air grup musik sekelas God Bless menjadi langganan buatnya. Bahkan, ia juga pernah jadi MC di konser grup luar negeri seperti Metallica, Sepultura, Hellowen, Skid Row, White Lion dan Europe.
Bersama dengan Acub Zaenal dan Lucky Acub Zaenal, pria yang kini usianya sudah menginjak 70 tahun itu, jatuh bangun membesarkan Arema.
“Dulu orang lebih kenal Persema Malang. Lalu, pada satu kesempatan Acub Zaenal sempat berujar. Kita harus punya klub yang bermain di Galatama. Lalu, dinamakan Arema,” terang Ovan Tobing, membuka lembar kisah berdirinya Arema.
Gayung bersambut. Mencari pemain yang siap pakai di kompetisi Galatama, ternyata bukan perkara yang gampang. Manajemen Arema kala itu, harus melakoni banyak cara agar menemukan pemain-pemain yang potensial. Walaupun, dengan cara yang out of the box alias tak lazim.
“Percaya atau tidak. Kami harus mencari pemain-pemain yang ketika itu bermasalah alias mendapatkan hukuman dari PSSI. Dengan kata lain, pemain yang patah hati. Wis budal,” kenang Ovan Tobing, sambil tertawa.
Ada alasan logis kenapa Arema mengambil pemain yang ‘bermasalah'. Itu rupanya lebih pada pertimbangan psikologis pemain. Ketika diberi kesempatan lagi, otomatis sang pemain akan tampil sebaik mungkin. Tampil kesetanan ala Arema. “Ada keinginan kuat untuk menunjukkan diri ke publik bahwa dia masih layak,” tegasnya.
Cara lain, mendekati pemain-pemain yang sebenarnya tidak diterima atau hanya menghuni bangku cadangan di klub lain. Contohnya mengambil beberapa pemain Arseto Solo. “Kami datang ke Solo. Bertemu pelatih Arseto dan meminta pemain mereka,” tambahnya.
Lantas, bagaimana kisahnya hingga terbentuk karakter Arema yang suka bermain keras dan cepat?
Ini yang menarik dulur. Rupanya karakter itu terbentuk dengan sendirinya. Dipengaruhi oleh situasi saat itu. Seperti yang dibeberkan Ovan Tobing, dulu proses seleksi pemain sudah berlangsung ketat. Terutama pemain-pemain yang sebelumnya hanya bermain di level tarkam alias antar-kampung.
Berantem atau benturan antarpemain pada saat seleksi atau latihan, sudah menjadi pemandangan yang biasa. Lumrah. Bukan lagi fakta yang mencengangkan. Tapi, sekali lagi, itu hanya di atas lapangan. Di luar lapangan, kembali rukun seperti semula.
“Suatu ketika, sore hari saya datang ke mes pemain dan mencari si A. Dijawab oleh pemain lain bahwa si A sudah pulang. ‘Sudah biarkan pulang. Dia tak punya nyali ala Arema’ kata mereka. Setelah saya telusuri, ternyata paginya menjalani seleksi yang ketat. Sampai harus berbenturan,” beber Ovan.
Lambat laun, pada saat kompetisi Galatama digulirkan, sentuhan psikologis pemain juga menjadi prioritas manajemen Arema. Mereka tahu bahwa pemain belum terbiasa bermain tandang. Apalagi jauh hingga menyeberang pulau. Mereka harus bermain di beberapa kota di Pulau Sumatera hingga Kalimantan.
“Saat itu, saya selalu ikut bersama tim. Saya berpikir gimana caranya agar pemain tidak down. Maklum, dulu mengumpulkan pendukung tim itu susah. Apalagi di luar Malang.”
Manajemen Ongis Nade pun memutar otak. Dicarilah beragam strategi yang tepat. Termasuk bagaimana caranya agar moril pemain di ruang ganti bisa terangkat. Kongretnya, pemain lebih percaya diri. Tak takut bersaing dengan klub-klub lain.
“Selama masih ada matahari, di situ ada Aremania. Arema tidak ke mana-mana. Tapi ada di mana mana.”
Kata-kata mujarab itu akhirnya bermanfaat ganda. Bukan cuma mengangkat moril pemain yang diulang-ulang di ruang ganti. Namun kelak justru menjadi slogan buat Arema, sampai saat ini.
Kisah-kisah di atas baru menjadi bumbu di awal berdirinya Ongis Nade. Jika dikulik, masih banyak lagi cerita-cerita menarik yang membesarkan klub yang identik berwarna biru ini.
Intinya, Ongis Nade butuh waktu dan proses yang berliku untuk membangun brand image. Nama besar yang bukan hanya sebagai klub sepak bola, melainkan juga sebuah identitas.
Ya, identitas bagi publik Malang dan pemujanya yang ada di mana-mana.
Selamat ulang tahun Arema. Semoga selalu bisa mewarnai sepak bola Indonesia.