CUITAN akun Italian Football TV itu cukup menyentak di Italia. “Indonesia sungguh-sungguh mencintai sepak bola. Sejak Jay Idzes bergabung Sassuolo, pengikut akun Instagram klub melonjak dari 307 ribu menjadi 422 ribu,” tulisnya.
Saat itu, Jay Idzes baru bergabung dengan klub promosi Serie A itu. Dia meninggalkan Venezia, memilih di antara tiga pilihan --termasuk Torino, dan bergabung dengan Sassuolo.
Teranyar, angkanya sudah mencapai 430 ribu. Komentar-komentar berbahasa Indonesia juga mulai muncul.
Publik sepak bola Indonesia memang begitu. Mereka memburu informasi sekecil apapun tentang pemain berdarah Melayu. Itu yang terjadi saat Maarten Paes menjalani naturalisasi, akun media sosial FC Dallas langsung melambung. Pun klub-klub lainnya, meski di pelataran sepak bola dunia, mereka hanya klub “kasta kedua”.
Dalam industri sepak bola, Indonesia adalah pasar yang subur. Sama seperti Jepang atau Korea Selatan. Bedanya dengan Indonesia, Jepang atau Korea Selatan sudah mampu “memproduksi” pemain-pemain layak jual.
Salah satunya yang paling terkenal tentu saja Son Heung-min. Dia adalah legenda hidup sepak bola Asia. Disebut sebagai pemain terbaik yang pernah lahir dari bumi Asia, Son kini membela LAFC setelah bersinar dan menyinari Tottenham Hotspur.
Son melampaui pencapaian pada pendahulunya, mulai dari Cha Bum-kun, Kazuyoshi Miura, Hidetoshi Nakata, Kim Jo-sung, hingga Lee Pyong-yu, deretan pemain Asia yang pernah bersinar di Eropa.
Salah satu pencapaian terbaiknya adalah menjadi top skor Premier League musim 2020-2021, pemenang Puskas Award 2019-2020, jadi pemain Asia pertama yang mencetak 100 gol di Premier League.
Puskas Award dia raih berkat golnya ke gawang Burnley, menggiring bola dari lapangan sendiri, melewati tujuh pemain lawan, dan mengantarkan bola ke dalam gawang. “Sonaldo Nazario,” sebut Jose Mourinho menjulukinya.
Padahal, pemain kelahiran Chuncheon, Korea Selatan, 33 tahun lalu itu, sama saja dengan pemain-pemain Indonesia di masa mudanya. Hanya saja, dia kukuh, teguh, dan terus mengasah diri.
Dalam usia 16 tahun, dia sudah meninggalkan Seoul, terbang ke Jerman. Dia manfaatkan fasilitas South Korean FA Youth Project. Son masuk sekolah sepak bola Hamburg SV dan menjalani debut dalam usia 18 tahun. Dia bahkan menjadi pemain termuda Hamburg yang mencetak gol di Bundesliga, mematahkan rekor Manfred Kaltz.
Son adalah pemain yang disiapkan sejak masa mudanya. Sebelum terbang ke Jerman, dia sudah membekali diri dengan bahasa Inggris dan Jerman. Belajar bahasa Jerman, dia melakukannya dengan menonton serial televisi anak-anak: SpongeBob SquarePants.
Mestinya, ada Son Heung-min versi Indonesia. Negeri ini tak hanya subur-makmur dalam hal sumber daya alam, tapi juga bakat-bakat pemain bola. Hanya saja, hingga saat ini, belum ada yang bahkan sekadar mendekati Son.
Bukan tak ada pemain Indonesia yang berkarier di luar negeri. Tapi, pencapaiannya tak ada yang istimewa.
Iswadi Idris menjadi pemain Western Suburbs di Sydney pada musim 1974-75. Risdianto pun membela klub Hong Kong Mackinnons FC di periode yang sama.
Setelah itu, muncul pula Ricky Yacobi yang membela klub Jepang, Matsushita FC pada 1988. Adapun Robby Darwis membela Kelantan FA setahun kemudian. Atau, Kurniawan Dwi Yulianto yang memperkuat FC Luzern di Swiss.
Di luar pemain naturalisasi yang memang meniti karier di Eropa, kini sejumlah pemain Indonesia pun merumput di luar negeri. Paling mencorong adalah Marselino Ferdinan yang kini bermain untuk Oxford United, klub kasta kedua di Inggris.
Atau, Pratama Arhan bersama Tokyo Verdy, Suwon FC, dan kini Bangkok United. Sebut lagi Asnawi Mangkualam bersama Port FC hingga teranyar anak Lingga Ramadhan Sananta yang meninggalkan Persis Solo bergabung dengan DPMM FC di Brunei Darussalam.
Mereka, para pemain lokal itu, adalah pemain yang lahir dari rahim BRI Liga 1 atau kini disebut BRI Super League. Betapapun kelasnya belum bisa disebut tinggi, keberhasilan mereka membuktikan kompetisi domestik mampu melahirkan pemain-pemain yang berkiprah di luar negeri.
Marselino jelas-jelas pemain jebolan Persebaya. Itulah satu-satunya klub BRI Super League yang pernah dia bela di Indonesia. Sama seperti Pratama Arhan yang lahir dari PSIS Semarang.
Maka, di tengah membanjirnya pemain asing di BRI Super League, setidaknya ada hal positif bagi pemain lokal. Salah satunya adalah bagaimana menyiapkan diri jauh lebih serius, seperti Son Heung-min menyiapkan diri sejak masa remaja, untuk bisa melanglangbuana keluar negeri.
Persiapan diri, baik secara teknik, fisik, mentalitas, dan tak kalah pentingnya kepribadian, adalah empat syarat yang harus terpenuhi jika ingin merasakan bermain di luar negeri, bahkan menorehkan prestasi di klub-klub asing.
Keempatnyalah yang dimiliki Son Heung-min dan setidaknya harus jujur diakui, belum dimiliki pemain-pemain Indonesia setidaknya sampai seperti taraf pemain Korea Selatan itu. (era)